Minggu, 07 Oktober 2012

Ketika Bangau Enggan Pulang - Harian Pagi Padang Ekspres

Ketika Bangau Enggan Pulang
Oleh : Suryani
Wartawan Padang Ekspres
Padang Ekspres • Minggu, 07/10/2012 08:48 WIB • 53 klik
Suryani
Sejauh-jauh bangau terbang akhirnya kembali ke pe­ra­duannya. Begitulah kata pepatah yang meng­gam­barkan seseorang yang pergi merantau, walau ke ujung dunia sekalipun, suatu saat akan pulang kampung juga.

Tapi sepertinya tidak semua perantau yang merin­dukan pulang ke kampung halaman. Meng­habiskan sisa hidup. Bagi mereka sepertinya rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman sendiri. Rantau orang lebih nyaman daripada kampung halaman.

Tak percaya?

Pekan lalu, saudara yang merantau ke Jakarta pulang kampung. Mereka sudah belasan tahun di tanah seberang. Setahun atau dua tahun sekali pulang.

Jika tak Lebaran, ya nengok orangtua kala sakit atau kalau taragak.

Ketika kedua orangtua ber­tanya, kapankah bangau pu­lang ke peraduan dan meminta anak-anaknya untuk mengurus harta pusaka karena mereka sudah mulai renta, sawah dan parak telantar. Spontan dan enteng ketiga anaknya itu menjawab,

”tinggalkan saja kampung, ru­mah kontrakkan dan sawah biar diolah orang lain. Bapak dan ibu akan kami bawa me­ran­tau…”

Tentu saja orangtua yang sudah lama menginginkan dapat berkumpul dengan anak-anak­nya di usia senja jadi kece­wa. Kehabisan akal untuk mem­bu­juk anak-anaknya untuk pulang ”habis”.

Lantas apa yang membuat mereka enggan pulang ke kan­dang?

Mereka mengaku hidup di kampung orang lebih nyaman. Orang-orangnya ramah, te­tang­ga baik-baik dan peduli sesama, di jalanan pengendara berlaku sopan. Apalagi kalau berurusan dengan kantor pemerintah, kantor polisi, rumah sakit, pela­yanan ramah dan men­ye­na­ng­kan.

Menurut mereka, tiap pu­lang kampung, selalu saja diha­dap­kan pada tingkah polah orang-orang di ranah Minang yang dulu terkenal dengan keramah-tamahan dan sopan santun ini bersikap menjengkelkan.

Baru saja turun pesawat dan melewati pintu kedatangan, ulah sopir taksi yang merecoki sudah membuat kesal. Nyinyir dan berlaku tidak sopan.

Kemudian, setelah berada di jalanan, mereka menyaksikan pengendara semaunya. Sealah jalanan milik nenek moyangnya saja. Tak peduli orang lain ka­talendo.
Seenaknya menerobos lam­pu merah, sudahlah salah orang lain pula yang disumpah se­rapah. Parah!

Begitupun ketika berurusan ke kantor pemerintah maupun rumah sakit. Jauh dari kata ramah. Tak jarang dicuekin atau malah mendapati kata-kata ju­des. Sangat jauh dengan pe­nam­pilan mereka yang pada umum­nya berpakaian mus­limah.

Belum lagi bila berurusan dengan kantor polisi. Pernah dulu, seorang teman yang mela­porkan adiknya hilang dilarikan sang pacar ke kantor polisi. Alih-alih dapat simpati, malah ia merasa diinterogasi bagai pen­curi. Ia mengaku kalau di rantau seberang, berurusan dengan kantor polisi ia diperlakukan dengan baik dan ramah, diper­silakan duduk sambil disuguhi minuman. Setelah mene­na­ng­kan diri, sang polisi baru masuk ke pokok persoalan.

Ia tak habis pikir, kok di kam­pung halaman sendiri di­per­lakukan seperti orang asing.

Sudah sedemikian parahkah perilaku rang Minang dewasa ini?

Memang kita tak bisa me­nu­tup mata, tak bisa tidak untuk mengakui kesan perantau itu demikian adanya. Walau masih ada juga yang menujukkan pri­badi yang sesungguhnya tapi jum­lahnya tak kentara.

Memang sering kita dengar, keluhan masyarakat yang beru­ru­san dengan rumah sakit umum.

Pasien maupun keluarga pa­sien mengeluhkan mendapat perlakuan tak menyenangkan. Pasien miskin misalnya. Tak jarang dicuekin dan dianggap sebagai beban. Hingga muncul semboyang, orang miskin dila­rang sakit.

Lalu bila berurusan ke kan­tor pemerintah, selain masih ada pungli tersembunyi, tak jarang aparatur pilih kasih dalam pelayanan. Bila yang berurusan orang berduit atau berpakaian seragam, maka akan mendapat prioritas. Kalau yang datang orang biasa dengan pakaian lusuh diacuhkan saja.

Jangan tanya perilaku pengendara di jalan raya. Me­nya­lip, menerobos dan motor yang memekakkan telinga sudah menjadi pemandangan biasa di mana-mana. Tingginya angka kecelakaan karena tak men­ga­cuhkan aturan berlalu lintas.

Fenomena ini sudah ber­lang­sung lama. Tidak saja mem­buat jengkel penduduk asli tapi juga pendatang bahkan turis mancanegara. Tapi, sampai kini tetap tak ada perubahan.

Lantas siapakah yang salah dalam hal ini.Kenapa semua orang jadi tak punya lagi sikap ramah tamah dan sopan santun yang jadi ciri khas rang Minang dulunya?

Di manakah tiga tungku sajarangan, para ninik mamak, alim ulama cadiak pandai? Di­manakah wibawa pe­mim­pin?

Kenapa membiarkan kon­disi ini berlarut-larut? (*)

Bahasa gaul

inilah kebanyakan bahasa org kebanyakan
yg lg ngetren di stasiun tv kita....
wkwkkwkk