Selasa, 09 Desember 2014

Berbicaralah “Dengan” Anak, Bukan “Kepada” Anak

“BUNDA, gambarnya besar lho…” seorang anak 9 tahun berbicara kepada ibunya.
“Iya,” ibunya merespon ucapan si anak.
“Bunda, gambar jeruknya besar, warnanya kuning,” kembali anaknya berkata.
Sambil memegang handphone-nya sang ibu kembali berucap, “iya.”
“Bunda, asal iya kan? Dari tadi Bunda cuma ‘iya-iya’ aja. Bunda, kenapa asal iya aja?” tiba-tiba nada suara anak ini meninggi lalu histeris menangis.
“Iya, maksudnya, Bunda sudah lihat gambarnya,” sang bunda mencoba menjelaskan namun anak ini tidak juga menghentikan tangisannya.
***
“Mama pergi ya, cepet bangun,” teriak seorang mama ketika anaknya mogok berjalan di sebuah tempat rekreasi.
Bukan mendengar perintah mamanya, anak yang usianya 4 tahun itu malah berguling-guling sambil menangis di pelataran parkir.
“Pokoknya mama pergi ya,” kembali sang mama menegaskan ancaman pada anaknya.
Datanglah gurunya menghampiri seraya berkata “Kenapa? Amar cape?”. Sambil jongkok, sang guru mengelus tangan si anak dan mengusap kepalanya kembali melanjutkan bertanya, “ Perlu istirahat?”
Tak hanya itu, sang guru menatap hangat sang anak, lalu berujar, “Bu Deva peluk dulu ya?” Lantas bu guru memeluk sambil berbicara padanya. Tak lama kemudian anak ini tenang dan mau berjalan menuju mobilnya.
Orang tua pada umumnya berbicara “kepada” anak-anak. Komunikasi seperti ini berlangsung satu arah. Dalam hal ini, orangtua mencoba berkomunikasi “kepada” anak. Namun sayangnya,Kkmunikasi yang terjadi dalam situasi ininegatif. Orangtua tidak membangun suasana yang nyaman ketika berbicara “kepada” anak-anak mereka. Berbeda jika orangtua maupun guru berbicara “dengan” anak.
Seperti yang terjadi diatas, ibu guru berbicara “dengan” anak bukan “kepada” anak. Komunikasi seperti ini berlangsung dua arah. Ibu guru tidak mengambil posisi berdiri ketika berbicara “dengan” anak, tapi memposisikan tubuhnya sejajar dengan tinggi tubuh sang anak. Menatap, mengusap kemudian memeluk dan berbicara dengan suasana hangat. Maka komunikasinya yang terjadi dalam situasi positif.
Komunikasi yang positif baru bisa dilakukan oleh orangtua atau guru jika orang tua atau guru menyediakan waktu cukup untuk berkomunikasi “dengan” anaknya. Bukan sekedar berkata “iya!” seraya berlalu. Komunikasi yang terjadi bersifat timbal balik atau dua arah, saling mendengarkan.Bukanhanya anak yang harus mendengar tapi orangtua juga mendengar dengan sungguh-sungguh ketika anak berbicara. orangtua memberikan tanggapan atas apa yang dikatakan anak bukan mengabaikan atau malah memberikan ancaman. Sehingga diantara keduanya betul-betul terjalin hubungan yang baik, hubungan saling menyayangi antara orangtua dan anaknya.
Berbicaralah“dengan” anak, bukan berbicara “kepada” anak yang harus dilakukan para orangtua maupun guru. Sehingga lahir anak-anak yang bahagia dalam berbagai kesempatan dan bangga memiliki orangtua maupun guru seperti kita. Mereka lahir menjadi anak-anak yang penuh rasa percaya diri, penuh kasih sayang, penuh kebahagian yang melebihi materi. Berdasarkan hasil penelitian para neuroscientist, anak-anak akan belajar banyak pengetahuan yang diberikan padanya dalam keadaan bahagia. Jika kemampuan komunikasi positif ini dibangun sejak dini, anak akan lahir menjadi pribadi yang menyenangkan dihadapan semua orang. [islampos]